Hakikat Pendekatan Whole Language
Pendekatan whole language adalah salah satu pendekatan pembelajaran bahasa yang menyajikan Pembelajaran bahasa secara utuh, tidak terpisah-pisah (Edelsky, 1991;Froese, 1990; Goodman, 1986; Weaver, 1992). Para ahli whole language berkeyakinan bahwa bahasa merupakan satu kesatuan (whole) yang tidak dapat dipisah-pisahkan (Rigg, 1991, dalam Puji santosa).Pendekatan Whole language adalah pendekatan pembelajaran bahasa yang menyajikan pembelajaran secara utuh, tidak terpisah-pisah. Oleh karena itu pembelajaran keterampilan berbahasa dan komponen bahasa seperti tata bahasa dan kosakata disajikan secara utuh bermakna dan dalam situasi nyata atau otentik. Pembelajaran tentang penggunaan tanda baca seperti koma, semikolon, dan kolon misalnya diajarkan sehubungan dengan pelajaran menulis dan membaca.
Menurut Brown (2001) Pendekatan whole language merupakan salah satu pendekatan informasi yang
digunakan untuk menggambarkan bagaimana siswa bekerja sama, berpartisipasi
dalam pembelajaran, serta seluruh
kegiatan berpusat pada siswa. Dan pembelajaran berlangsung
secara kontekstual, logis, kronologis, dan komunikatif serta menggunakan
setting yang nyata dan bermakna (Hidayah, 2014:81). Dan teknik penilaiannya adalah menggunakan penilaian
holistik dan integrasi dari keempat keterampilan berbahasa. Ketika siswa secara
aktif berpartipasi dalam pembelajaran mereka dapat mengembangkan keterampilannya
secara signifikan.
Pendekatan whole language adalah pendekatan
pembelajaran yang komprehensif karena dapat membantu siswa untuk membangun
hubungan yang bermakna antara sekolah dan kehidupan nyata sehari-hari (Brown,
2001). Lebih penting lagi Sukiyadi (2010) menunjukkan bahwa pendekatan whole language dapat dikombinasikan
dengan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
Pendekatan
whole language didasari oleh paham constructivism yang menyatakan bahwa
siswa membentuk sendiri pengetahuannya melalui peran aktifnya dalam belajar
secara utuh (whole) dan terpadu (integrated) (Roberts, 1996 dalam Puji
Santosa). Siswa termotivasi untuk belajar jika mereka melihat apa yang
dipelajarinya itu diperlukan oleh mereka. Dan orang dewasa, dalam hal ini guru,
berkewajiban untuk menyediakan lingkungan yang menunjang untuk siswa agar
mereka mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Fungsi guru dalam kelas whole language berubah dari desiminator
informasi menjadi fasilitator (Lamme dan Hysmith, 1993)
Pendapat lainnya tentang pendekatan whole language adalah Ling (2012) yang menyatakan, Pendekatan whole language adalah pendekatan dalam
mengajar membaca, pengucapan dan tata bahasa, sehingga pembelajaran memiliki
modal akumulatif dengan mengetahui langkah-langkah untuk menulis.
Whole language berakar
pada teori perkembangan John Dewey, pemikiran Vygotsky tentangkonteks sosial,
teori perkembangan kognitif Piaget, dan termasuk juga teori bahasa Kenneth Goodman.
Whole language merupakan pendekatan pembelajaran bahasa yang berbeda
dari pendekatan lain, yang memiliki perhatian dan konsistensi terhadap
pemahaman bagaimana anak belajar (Weaver, 2003:3).
Pendekatan whole language beranjak
dari pernyataan Dewey tentang hakikat siswa, yakni siswa memiliki kekuatan,
kesanggupan, dan keinginan untuk belajar. Siswa akan menjadi pribadi kreatif
yang mampu menyusun, menciptakan dan menemukan pemecahan terhadap berbagai
persoalan secara aktif jika mereka diberi kesempatan untuk melakukan aktivitas
tersebut selaras dengan kemampuannya. Whole Language adalah satu
pendekatan pembelajaran, yang secaraalamiah diyakini mampu membantu
perkembangan bahasa anak-anak di sekolah atau di kelas. Istilah Whole
Language telah dikenal sebagai salah satu pendekatan pembelajaran, sebuah
sistem kepercayaan tentang sifat pembelajaran dan bagaimana hal itu dapat
dipupuk di kelas dan sekolah (Meha dan Rhosonah, 2014: 72,73).
Whole Language adalah cara untuk menyatukan pandangan
tentang bahasa, dan tentang orang-orang yang terlibat dalam pembelajaran. Dalam
hal ini orang-orang yang dimaksud adalah siswa dan guru. Whole Language dimulai
dengan menumbuhkan lingkungan dimana bahasa diajarkan secara utuh dan
keterampilan bahasa (menyimak, berbicara, membaca dan menulis) diajarkan secara
terpadu (Puji Santosa, 2010:2.4). Dalam perspektif whole language, tidak hanya bahasa lisan yang dipandang sebagai
bahasa, melainkan juga bahasa tertulis dan bahasa isyarat. Masing-masing bahasa
tersebut dapat menciptakan makna dan berbagi karakteristik tertentu; (1)
masing-masing bahasa (lisan, tertulis,
isyarat) mendalami social; (2) masing-masing bahasa (lisan, tertulis, isyarat) saling
ketergantungan; (3) masing-masing bahasa (lisan, tertulis, isyarat) dapat
diprediksi (Edelsky, Altwerger, Flores, 1991: 9).
Dari paparan dan pendapat para ahli di
atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan
pembelajaran whole language sebagai
salah satu pendekatan inovatif dalam pembelajaran bahasa yang menyajikan
pengajaran bahasa secara utuh, tidak terpisah-pisah dalam situasi nyata atau autentik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar